Jumat, 20 September 2013

MENGENAL DAN MENSERVICE POWER SUPLY TV

Assalamaualaikum..

sobat jagad..

maaf baru nongol coz kesibukan yang banyak. dirumah banyak servisan tv dan rata-rata power suply kena semua. mungkin karena tegangan dari PLN kurang bagus kali yach.. karena itu ane ulas walaupun copas menegnai power suply TV baik yang pakai transistor maupun yang memakai STR..

monggo disimak..

Cara Aman Mengetes Power Supply (AC-MATIC)

Memperbaiki rangkaian/bagian ac-matic/smps peralatan electronic memang gampang2 susah. Dengan jurus reboisasi ala dinas kehutanan atau jurus tes komponen satu-persatu dengan njelimetnya. Setelah semua komponen terpasang dan masih kinclong2 tiba saatnya untuk mengetes/mencoba. Dag-dig-dug, jantung berdebar-debar, bisa nggak ya.... atau malah kebakaran....???
Itulah dulu (sekarang kadang juga masih kok). Biar aman dan nggak was-was, beberapa rekan menyarankan untuk menggunakan tegangan 110V. Cara ini oke juga, sudah mengurangi rasa was-was. Manjur untuk ac-matic tipe tertentu tetapi ada beberapa jenis skema SMPS ketika dicoba dengan 110V bisa beroperasi dengan baik, tapi ketika dicoba dengan 220V langsung kebakaraaaan!!!, wah-wah kalo begini terus bisa tekor nih...
Setelah tanya sana-sini dan baca-baca artikel tentang cara aman mengetes power supply ditemukan cara yang lebih aman, yaitu dengan jurus lampu pijar 220V/60watt. Alhamdulillah cara ini yang paling amaaan hingga sekarang. Cara ini saya dapatkan dari hasil membaca buku ARRL.
Caranya pasang lampu pijar secara seri terhadap rangkaian yang mau dites. skema jelasnya begini:

---------(LAMPU)----------
AC IN 220 SMPS yang dites
----------------------------

Sebelum mencoba smps, beban pada smps dilepas dulu (kalo pada TV, beban untuk B+ ), Ketika dicolokkan ke listrik, amati nyala lampu:
-- Pertama-tama lampu akan berpijar terang +- 1 deti'an (karena mengisi elko) kemudian menyala redup (atau bahkan tidak menyala sama sekali). jika smps yang dites beroperasi dengan baik --> tegangan sekunder muncul (lanjutkan dengan mengetes semua tegangan keluaran). Biarkan menyala kira2 1-5 menit, jika tidak ada perubahan terhadap nyala lampu berarti smps dirasa sudah siap dioperasikan tanpa lampu. Jika tidak ada tegangan keluaran sama sekali, berarti ada trobel dibagian startup (tv sharp R560K, tv digitec jadul R120K-an).
-- Jika lampu menyala terang terus (kaya slogannya philips), berarti ada yang konslet di rangkaian smps atau komponen aktif smps dalam keadaan ON/switched terus >> tidak ada output. cek lagi komponen/rangkaiannya. Jangan lama2 mengetesnya tujuannya agar tidak sempat merusakkan komponen aktif smps (TR, FET dll), kalo kelamaan, resiko ditanggung penumpang.

Ooo iya... ketika masih ada lampu yang terpasang, smps JANGAN diberi beban, nyala lampu akan menyesuaikan jumlah beban, semakin terang semakin besar bebannya. Karena lampu bersifat resistif, nilainya meningkat sesuai dengan bebannya, dapat menyebabkan tegangan yang masuk ke smps menjadi turun hingga dibawah 125V dan kejadian ini bisa fatal jika smps yang dicoba tidak mampu bekerja pada tegangan input sebesar itu!!!

Untuk mengatasi problem tv yang ketika dinyalakan pertama kali, spedometer listrik langsung njegleg dengan cara dipasangi R 20 watt dengan nilai sekitar 20 ohm-an dan disambung secara seri pada input listriknya (pada TV goldstar R39 ohm/7W). Ternyata cara ini merupakan pengembangan dari metode lampu tersebut.


lanjut yach...


Switch Mode Power Supply (SMPS) Bagian I

Dinamakan Switch Mode Power Supply (SMPS) karena sistem kerjanya menggunakan metode switching (pensaklaran) yaitu menghidup matikan tegangan yang masuk ke dalam trafo dengan peralatan/komponen elektronik dengan frekuensi tertentu. Sedangkan nama AC-matic diambil dari salah satu kelebihan dari SMPS yaitu kemampuan power supply bekerja dengan rentang tegangan masukan yang lebar. Pada beberapa jenis smps, mampu bekerja pada tegangan masukan antara 90 s/d 265V dengan output yang sama dan stabil. Karena kelebihan tersebut, smps menjadi auto-voltage regulator atau wide range input regulated power supply (secara mudahnya disebut AC-matic).

BAGIAN 1 BLOK-BLOK SMPS


 


Transformator (trafo)

Pada sistem power supply konvensional yang menggunakan trafo, supaya tranformator bisa me-transform (memindah) daya dari primer ke sekunder, trafo harus diberi masukan yang berpulsa. Masukan trafo power supply jenis konvensional dihubungkan secara langsung dengan tegangan masukan yang berbentuk AC, karena hanya tegangan AC yang mempunyai denyut/frekuensi (polaritasnya berganti-ganti dengan periode tertentu). Kekurangan utama jenis konvensional adalah ukuran dari tranformator yang dipakai. Semakin rendah desain frekuensinya, semakin besar ukuran trafonya, walaupun dengan daya keluaran yang sama.

Pada desain trafo konvensional dengan input 220VAC/50Hz dan output 12VA, ukuran inti trafo sekitar 3 X 6 cm, jika seandainya dibuat trafo dengan input 220VAC/100Hz dengan output sama (12VA), mungkin ukuran inti dari trafonya menjadi setengah dari ukuran sebelumnya, atau, ukuran inti yang sama tetapi jumlah gulungan menjadi setengah dari sebelumnya. Kesimpulannya, frekuensi dari tegangan masukan menentukan ukuran dan desain dari trafo.

Pada sistem smps, pada umumnya bekerja pada frekuensi antara 30 s/d 40 KHz. Sehingga tidak heran jika trafo pada smps menjadi lebih ringkas. Karena frekuensi kerjanya yang tinggi tersebut, inti dari trafonya tidak lagi menggunakan plat besi tetapi sudah menggunakan ferit (besi oksida) yang notabene mempunyai kemampuan magnetisasi dan demagnetisasi lebih cepat daripada besi biasa.

Line Filter

Line filter befungsi sebagai filter tegangan masukan, tujuan utamanya untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi liar dari line/jala-jala listrik (selain frekuensi tegangan AC masukan) yang dimungkinkan bisa mengganggu kerja dari smps. Line filter dibentuk dari induktor-induktor dan kapasitor-kapasitor yang dipasang secara seri terhadap tegangan masukan.

Rectifier

Blok penyearah berfungsi sebagai penyearah tegangan AC menjadi tegangan DC. Komponen-komponen penyearahan terdiri dari dioda-dioda dan elco. Dioda berfungsi sebagai penyearah dan elco befungsi sebagai filter untuk menghilangkan denyut ripple pada tegangan DC yang dihasilkan selain kapasitor-kapasitor yang dipasang paralel terhadap dioda. Jenis penyearahan pada umumnya menggunakan metode bridge rectifier, yang mempunyai kelebihan pada tingginya isolasi antara tegangan DC yang dihasilkan dengan tegangan AC masukan.

Tegangan masukan sekitar 220VAC setelah disearahkan dan melalui elko berubah menjadi sekitar 1,4 x 220 = 308VDC. Jika elko pada penyearah kering, tegangan 308VDC tersebut menjadi tidak tercapai sekaligus terdapat ripple. Akibat terburuknya adalah smps menjadi lebih panas (karena berusaha menstabilkan output dan terganggu bentuk pulsanya oleh DC ripple). Cara termudah mendeteksi ini adalah dengan mengukur tegangan 308V-nya atau munculnya suara mendecit/mengerik pada trafo utama.

Start Up

Di awal sudah disinggung bahwa smps menggunakan frekuensi kerja antara 30 s/d 40 KHz. Karena frekuensi tersebut tidak ditemukan pada tegangan DC, maka sistem smps harus membuat/menggenerasikan sendiri pulsa/denyut tersebut. Metode paling sering ditemukan adalah dengan metode self oscilating (osilasi sendiri). Pada jenis ini, rangkaian smps ibarat sebagai rangkaian osilator frekuensi daya tinggi. Tidak jarang juga ditemukan smps yang menggunakan IC untuk membuat pulsa tersebut, misalnya TDA8380, TEA2261, STR-group dll.

Dalam setiap sistem osilator, dibutuhkan tegangan awal/pemicu yang berfungsi sebagai pemicu awal rangkaian osilator untuk berosilasi. Tegangan pemicu ini muncul beberapa saat setelah smps mendapat tegangan masukan (AC in). Besar tegangan pemicu ini tergantung dari jenis rangkaian smps yang digunakan (contoh, pada STR-F665x osilator akan bekerja jika tegangan pemicu sudah mencapai 16V). Karena sifatnya hanya sebagai pemicu, tegangan ini tidak dipakai lagi ketika smps sudah bekerja. Pada umumnya, tegangan pemicu diambil dari 308V dengan melalui R atau transistor start up.

Switcher

Switcher berfungsi sebagai penswitch utama transformator, pada umumnya menggunakan transistor atau FET. Karakteristik switcher harus mampu menahan arus kolektor/drain yang cukup besar untuk menahan tegangan pada lilitan primer transformator. Arus ini bukan arus konstan melainkan arus sesaat tergantung lebar pulsa yang menggerakkan. Selain kemampuan arus, transistor/fet switcher harus mempunyai frekuensi kerja yang cukup untuk diperkerjakan sebagai switcher.

Error Amp/Detector

Rangkaian Error Amp/detector berfungsi sebagai stabiliser tegangan output. Cara kerjanya adalah membandingkan tegangan output (diambil dari lilitan sekunder trafo) dengan tegangan referensi yang stabil. Jika tegangan output terlalu tinggi, rangkaian ini akan mengendalikan/memberitahu rangkaian primer/switching utama untuk segera menurunkan tegangan. Kunci dari AutoVoltage berada pada blok ini.
Tegangan sekunder yang dihasilkan dinaikkan dengan cara melebarkan pulsa, dan sebaliknya untuk menurunkan tegangan output dengan cara menyempitkan pulsa yang masuk ke switcher (penswitch=TR/FET final).

Jika Error Amp gagal/tidak ada, rangkaian smps akan ‘dipaksa’ untuk menswitch (mengkonsletkan) lilitan primer dengan lama yang melebihi kemampuan switcher, akibatnya TR/FET final akan rusak.

Lokasi rangkaian error amp dapat ditemukan di bagian primer (nyetrum/hot) atau bisa ditemukan di bagian sekunder (non hot area). Pada model-model smps terdahulu, sering dijumpai pada primer, pada smps yang lebih baru dapat dijumpai pada bagian sekunder (non hot area) dengan menggunakan optocoupler (mis. PC817, P721, P621 dll) sebagai lintasan sekaligus isolator rangkaian Error Amp. Sanken Error (SE090, SE115) merupakan IC error amp yang sering dipakai pada smps saat ini. SE090, SE110, SE115 dan SE lainnya merupakan buatan Sanken/Allegro Semiconductor.

Snubber Circuit

Jika diartikan secara harfiah, snubber=mencerca, memang sedikit salah kaprah, tapi sebenarnya memang tujuannya begitu. Pada sistem smps, trafo diswitch (diberi tegangan sesaat olah TR/FET final) dengan lama tertentu, kemudian TR/FET akan melepaskan (meng-off-kan) trafo. Ketika diberi tegangan, inti transformer menjadi magnet sesaat hingga trafo di-off-kan. Ketika trafo di-off-kan, trafo akan men-transform energi magnet ke lilitan sekunder hingga trafo di-on-kan lagi begitu seterusnya.

Tidak seluruh energi/magnet dalam trafo dapat dipindah semuanya (akibat tidak sempurnanya trafo=efisiensi trafo) mengakibatkan masih adanya magnet yang ‘ngendon’ di dalam inti trafo. Energi magnet yang ngendon tersebut secara langsung masuk ke TR/FET melalui kaki kolektor/drain dengan tegangan mungkin lebih tinggi dari kemampuan kerja tr/fet final. Fungsi utama dari snubber circuit adalah untuk menghilangkan/mengkonsletkan tegangan tersebut (mempercepat demagnetisasi). Selain itu, snubber juga dipakai untuk menentukan/mengadjust frekuensi kerja trafo. Karena sifat ‘mencerca’ kerja smps tersebut akhirnya disebut snubber circuit.

Ciri utama snubber circuit adalah tersusun dari kombinasi C dan R (dalam beberapa jenis terdapat dioda) yang dipasang secara paralel terhadap lilitan primer trafo.

Secondary Rectifier

Tegangan pada sekunder transformator bukan dalam bentuk AC, melainkan DC yang berbentuk pulsa. tegangan yang muncul pada sekunder trafo disearahkan dan difilter untuk menghasilkan tegangan DC sekunder. Karakteristik penyearah/dioda harus mempunyai berjenis fast rectifier. Misalnya UF4002 (bukan 1N4002). Fast rectifier dimaksudkan untuk mampu menyearahkan pulsa dengan frekuensi tinggi. Elko perata cukup menggunakan ukuran beberapa ratus uF, karena frekuensi tegangan yang keluar dari trafo cukup tinggi (tergantung frekuensi kerja smps).

Blok Proteksi

Blok proteksi yang penting untuk kesempurnaan smps antara lain : 1. OVP (over voltage protector) berfungsi untuk mendeteksi tegangan yang berlebihan. Blok ini akan mengoffkan smps jika terdeteksi tegangan yang lebih. 2. OCP (Over Current Protection), berfungsi untuk mendeteksi beban lebih, smps akan off jika terdeteksi pemakaian lebih pada bebannya. 3. OHP (over heat protection), jika terlalu panas, smps akan shutdown dengan sendirinya.

Hampir semua blok tersebut sudah masuk dalam satu IC smps. misalnya STR-W575x, STR-F665x dan lain-lain.

Switch Mode Power Supply (SMPS) Bagian II

CARA KERJA SMPS DENGAN TRANSISTOR

Jika Anda belum memahami blok-blok dalam rangkaian smps, sebaiknya baca dulu bagian 1 artikel SMPS ini.
Rangkaian smps yang diulas adalah rangkaian smps kepunyaan tv merk digitec/polytron jadul yang smps bentuk ini diproduksi beberapa pihak sebagai alternatif pengganti smps yang banyak ditemukan di pasaran (penulis sebut Robot Terminator). Sedangkan skema smps yang dimaksud sebagai berikut :


Cara kerja rangkaian :
  1. Tegangan AC220V yang masuk melalui Line Filter yang terdiri dari C1, R2 dan T1. kemudian disearahkan dan difilter oleh rangkaian Main Rectifier yang terdiri dari D1, D2, D3, D4, C2, C3, C4, C5 dan EC1. Setelah melalui rectifier ini, tegangan menjadi DC 308V. D1 s/d D4 banyak dijumpai dalam bentuk Bridge Diode (dioda kotak 4 kaki).
  2. Setelah tegangan EC1 cukup, R3 dan R4 berlaku sebagai rangkaian StartUP circuit yang memberikan tegangan startup/pemicu yang cukup untuk menswitch Q3 (main switcher). Ketika Q3 mendapatkan tegangan pemicu, Q3 akan menswitch/mengkonsletkan lilitan primer trafo. Menswitch tidak secara konstan (hanya sesaat) karena rangkaian snubber (R12, C9) akan segera me-demagnetisasi trafo.
  3. Karena trafo dengan segera ter-demagnetisasi, muncul tegangan induksi dari lilitan sekunder trafo (S1 dan S2). Tegangan dari S2 menswitch Q3 melalui D5, C8 dan R11. Pada waktu yang bersamaan, tegangan pada S1 disearahkan oleh D7 dan difilter oleh C6 (menghasilkan tegangan sebut saja VS).
  4. Karena Q3 kembali diswitch lagi, magnetisasi dan demagnetisasi berulang lagi dan seterusnya, disebut rangkaian berosilasi. Komponen-komponen yang berperan dalam osilasi adalah C8 dan R11. Osilasi yang terjadi mempunyai bentuk pulsa yang tidak terkendali (semakin menyempit ukuran pulsanya karena efek magnetisasi dan demagnetisasi = tegangan output semakin mengecil). Untunglah ada VS (tegangan dari S1 yang telah disearahkan dan difilter).
  5. Tegangan VS tersebut dipakai untuk membuat tegangan referensi dengan menggunakan ZD1 dan R8, dan dipakai untuk sensor utama tegangan output sekunder trafo.
  6. Tegangan VS dimasukkan dalam rangkaian Error Amp (R5, VR1, R6, R7, R8 dan Q1). Cara kerja Error Amp ini adalah dengan membandingkan VS dengan VREF (tegangan pada emitor Q1) menggunakan Q1. Jika VB lebih tinggi dari VE maka Q1 tidak akan menghantar, akibatnya Q2 tidak menghantar (dorongan/bias basis Q3 dikurangi/diputus), sehingga Q3 kembali ke posisi menyempitkan pulsa osilasinya. Akhirnya tegangan pada sekunder trafo akan turun. Sebaliknya, jika VB lebih rendah dari VE, Q1 akan menghantarkan tegangan dari emitor (VREF) menuju ke kolektor, sehingga Q2 menjadi terdorong dan ‘menahan’ bias Q3. Karena bias Q3 sedikit tertahan, pulsa akan melebar dan akhirnya tegangan sekunder akan naik.
  7. Untuk menghindari ‘penaikan otomatis’ secara berlebihan yang dilakukan oleh Error Amp, pada rangkaian tersebut dilengkapi dengan R9 dan D6 yang berfungsi sebagai Voltage Limiter (atau sering disebut Over Voltage Protection). Cara kerjanya adalah dengan cara membandingkan output dari error amp dengan pulsa negatif trafo.
  8. Ketika beban meningkat, magnet dalam trafo akan lebih cepat terserap oleh beban, sehingga output sekunder menjadi turun. Ketika memasuki tahap ini, rangkaian Error Ampnya akan segera menyesuaikan dan mempertahan output dari smps, begitu juga sebaliknya.
  9. Akhirnya, tegangan sekunder lainnya disearahkan oleh fast rectifier dan dipakai sebagai output dari sistem smps ini yang terisolasi dari jala-jala listrik.


Tips Perbaikan

Setelah mengetahui cara kerja rangkaian ini, metode perbaikannya secara umum dapat diterapkan pada smps-smps transistor jenis lainnya. Sedangkan tipsnya sebagai berikut :
  1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
  2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
  3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya.
  4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo kemudian silahkan dicoba smpsnya.


Troubleshooting
  1. Tidak bisa start : cek resistor startup, cek R10, cek tegangan B+308V, cek R8 dan C11, cek rangkaian snubber, cek line filter (pada beberapa jenis merk tv).
  2. Tegangan tidak bisa terkunci/tidak stabil : cek elko EC1, cek error amp (lebih-lebih pada VR-nya), cek D7 dan cek semua transistor.
  3. Transistor final panas berlebihan : cek transistor final, cek snubber, cek EC1, cek trafo.
  4. Efek pump out : cek hubungan ground pada sekunder trafo (non hot area) antara tegangan yang mensuplai audio amplifier dan ground lainnya, umumnya ada elko, cek elko tersebut. Efek pump out adalah efek yang ditimbulkan oleh getaran audio/penarikan daya oleh sistem audio, lebih terasa jika volume dinaikkan.


Beberapa kekurangan dari SMPS jenis ini
  1. Smps jenis ini kurang mendukung green mode atau power saving, yaitu penggunaan arus yang masih lumayan tinggi keadaan standby.
  2. Sistem proteksi yang kurang, tidak ada OCP (over current protection).
  3. Regulation speed yang sedikit lambat karena tegangan yang disensor bukan tegangan output yang dipakai langsung oleh beban.

Switch Mode Power Supply (SMPS) Bagian III

Selasa, 02 Februari 2010 CARA KERJA SMPS DENGAN FINAL FETJika Anda belum memahami blok-blok dalam rangkaian smps, sebaiknya baca dulu bagian 1 artikel SMPS ini.
Banyak teman penulis yang mengeluhkan rangkaian smps jenis ini, mulai dari FET yang gak bisa dipasang ampe yang menghabiskan FET sampai 5 biji, gak hanya FETnya saja yang terbakar, tetapi mirip mercon rentengan ketika smps dicoba, thour-thuorr-thuorr.
Skema smps yang dimaksud adalah :

Cara kerja rangkaian sebagian besar sama seperti yang diulas pada artikel sebelumnya, perbedaannya pada rangkaian error amp yang dipakai. Disini, Penulis hanya mengulas blok-blok rangkaian di atas beserta fungsinya saja.
  1. Line filter dan Rectifier : terdiri dari R536, C532 dan M502. Kemudian disearahkan dan difilter oleh rangkaian Main Rectifier yang terdiri dari D519, C527, C528, C529, C530 dan C525 (220uF/400) untuk membuat tegangan B+ 308V.
  2. Start up circuit : setelah tegangan B+ 308V cukup, tegangan ini dihambat oleh R531 dan R532 kemudian oleh zener (D518 6V2) tegangan dibatasi pada 6V2 kemudian tegangan 6V2 ini digunakan sebagai tegangan StartUP melalui R528 10K (pada beberapa model 18K/22K). Tegangan tersebut sudah cukup untuk memicu/menswitch IC501 9NK70 (pada beberapa model menggunakan FS7UM) untuk memulai self oscilation.
  3. Snubber circuit : terdiri dari C524 (2n2/1n 2KV) dan R533 (2R2).
  4. Error Amp : terdiri dari 2 rangkaian error amp, masing-masing dipakai ketika standby dan ketika ON. Error Amp ketika standby menggunakan ZD517 (2V), R522 (680), T506 (C945) dan C521 (10n). Sedangkan Error Amp ketika ON adalah IC503 (TL431), R506 (100K), RT501 (22K), C511 (220p), R505 (2K4), R504 (470K), R503 (100K) dan C510 (2n7). Error Amp akan membandingkan tegangan output B+115V (setelah melalui R506 dan RT501) dengan tegangan referensi internal IC TL431.
  5. Rangkaian Over Current Protection (OCP) terdiri dari T507 (A1015), T508 (C1815), R525 (100), C523 (18n) dan ZD521 (13V). Sedangkan R526, R527 dipakai untuk adjustment kepekaan OCP sekaligus sebagai jalur tegangan negatif yang menuju ke IC501 (power final).
  6. Rangkaian penentu frekuensi/pulsa osilasi terdiri dari L507, R523 (1K2) dan C522 (3n3) yang menjaga osilasi tetap pada frekuensi kerja.
Lebih Jauh Tentang Error Amp ketika ON
  1. Tegangan sekunder 14V mensupply kaki anoda optocoupler melalui R542 (220), sedangkan kaki katoda optocoupler disupply oleh rangkaian Error Amp yang terdiri dari IC503 (TL431), R506 (100K), RT501 (22K), C511 (220p), R505 (2K4), R504 (470K), R503 (100K) dan C510 (2n7). Error Amp akan membandingkan tegangan output B+115V (setelah melalui R506 dan RT501) dengan tegangan referensi internal IC TL431 (2,5V=menurut datasheet) yang kemudian tegangan error tersebut diumpankan ke kaki katoda optocoupler.
  2. Tegangan selisih yang terdapat pada dioda/masukan optocoupler (PC817) menyebabkan optocoupler menghantarkan tegangan dari kolektor ke kaki emitornya (kaki-kaki opto PC817 secara urut adalah, 1:anoda, 2:katoda, 3:emitor, 4:kolektor). Tegangan yang dihantarkan oleh PC817 berasal dari lilitan sekunder pada sisi non isolated area. Tegangan tersebut berfungsi sebagai tegangan error dan tegangan driver yang selanjutnya digunakan untuk mengendalikan osilasi/kerja dari rangkaian primer.
Sistem Standby
  1. Dengan adanya tegangan 14V, secara otomatis rangkaian regulator (T503 C2236) juga mengeluarkan tegangan standby 5V melalui D522 1N4002. Tegangan standby ini merupakan tegangan utama yang digunakan oleh IC program dalam keadaan standby maupun bekerja (ON).
  2. Ketika TV dimatikan dengan remot (dibuat standby), muncul tegangan pada jalur standby yang menuju basis T505 (C2235). Transistor tersebut menjadi dalam keadaan switch (E dan C terhubung). Karena E dan C terhubung, maka anoda D514 juga secara langsung terhubung dengan ground (-), mengakibatkan tegangan error dari TL431 hilang/konslet ke ground oleh dioda tersebut (lihat arah panah dioda). Karena opto tidak lagi mendapat tegangan bias, maka rangkaian primer akan masuk dalam mode standby. Ketika mode standby, output sekunder dari trafo ‘sengaja’ dibuat turun drastis. B+115 terbaca sekitar 25V, 50V menjadi 8-10V dan 14V menjadi sekitar 2V. Lantas 5V untuk standby diambil dari mana?
  3. Selain menghubung-singkatkan tegangan error dari TL431, T505 juga memberikan bias negatif pada tr T504 (A1023) melalui R516 (2K2) hingga membuat tr T504 menjadi dalam keadaan switch. Ketika T504 switch, tr tersebut menghubungkan tegangan 50V (ketika standby terbaca sekitar 8 s/d 10V), yang akhirnya tegangan tersebut (yg 8volan) digunakan untuk mensupply tegangan T503 (regulator 5V standby). Sebaliknya, ketika di ON-kan lagi, tegangan T503 diambil dari 14V, dan tr T504 (A1023) kembali tidak dalam keadaan switch (tidak dipakai ketika ON).
Tips Perbaikan
  1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
  2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
  3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya.
  4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo, lepas beban B+ yang menuju ke TFB (melepas R515, 3R3), kemudian ‘paksa’ standby smps dengan menghubung singkatkan kaki E dan C T505 (C2235) dengan patri/disolder. Kemudian hidupkan power supply.
  5. Jika tidak ada masalah, maka akan terbaca tegangan pada output smps masing-masing, B+115 = sekitar 25V, 50V = 8 s/d 10V, 14Va = sekitar 2V. Jika tegangan tidak mau muncul (smps tidak bekerja ketika standby), cek R startup juga cek R 33ohm yang menuju kekaki G. Jika R tersebut masih bagus, coba ganti FETnya dengan yang baru (dengan harga baru tentunya).
  6. Jika tegangan 50V ketika standby kurang dari 8V (mengakibatkan tegangan 5V standby yang dikeluarkan oleh regulator 5V standby (T503) kurang dari 5V), cek/ganti elko C507 dengan nilai 47uF/63V atau 10uF/160V.
  7. Jika sudah tidak ada masalah, matikan power supply, lepas solderan hasil ‘paksaan’, kemudian hidupkan lagi. Cek tegangan masing-masing output. Jika ada remot, silahkan coba distandby pakai remot, dan dihidupkan lagi pakai remot. Jika smps sudah beres, smps akan bekerja sesuai dengan perintah dari remot (on dan off).
  8. Jika smps tidak mau dibuat standby, meskipun tegangan bias pada T505 (C2235) ada, TV berkesan menyala normal, tetapi R518 (330) yang mensupply basis tr T503 (regulator standby 5V) gosong terus dalam hitungan menit, cek D514 (1N4148 kemungkinan bocor).
  9. Untuk ‘memaksa’ ON smps, bisa dilakukan dengan melepas kaki basis T505 (C2235), cek tegangan pada kolektor atau emitor pada T503, jika kurang dari 5V, cek dioda 1N4002. Biasanya penulis ganti dengan dioda 2A.
Tidak Ada di Skema

Sedikit keluar arena pembahasan, TV dengan power supply tersebut memang gampang-gampang susah. Setelah smps normal (bisa di-ON-OFF-kan) dengan tegangan normal pula, kadang TV masih tidak mau menyala. Berikut beberapa aturan/kondisi yang harus dicukupi supaya TV yang dimaksud bisa start.
  1. Tegangan B+ 115V harus 115V pada 20” dan 21” dan 113V pada 14”.
  2. Tegangan IC program (5V standby) minimal 4,5V.
  3. Tegangan reset (pin3 IC KA7045, kaki3, dekat IC program) minimal 4,5V.
  4. VCCD untuk STV22xx (pin35) minimal 4,5V.
  5. Pastikan SDA dan SCL pada STV22xx ke IC program terhubung dan tidak ada gangguan.
  6. Pin proteksi IC program (pin16) harus lebih dari 3V (jika diurut menuju ke output vertikal), jika kurang TV akan protek.
  7. Pin BCL (pin46) tidak boleh kurang dari 1V. Jika kurang dari 1V, horisontal output dari STV22xx akan non aktif (tegangan hampir sama dengan 8V, alhasil transistor driver horisontal puanass).
  8. Tegangan VCC1 (pin45) pada STV22xx minimal 7,3V.
Pada sasis yang lain, misalnya HBEA-001A, tegangan 5V (on) dan 8V (on) tidak lagi menggunakan 7805 dan 7808, melainkan menggunakan transistor untuk regulasinya (2SD313). Menurut pengalaman penulis, gangguan gagal startup (meskipun smps bagus) sering disebabkan komponen-komponen dalam regulator 5 dan 8V tersebut ada yang gak beres (paling sering elko kering), reboisasi daerah tersebut terbukti manjur. Mulai dari elko-elko sampai dengan transistor regulatornya jangan lupa dioda zenernya (9V1).

Switch Mode Power Supply (SMPS) Bagian IV

Jika Anda belum memahami blok-blok dalam rangkaian smps, sebaiknya baca dulu bagian 1 artikel SMPS ini.
SMPS yang akan diulas di sini mempunyai cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’, lihat saja ouputnya, B+ output diambil langsung dari kaki transformator alias tidak lazim bagi rangkaian power supply pada umumnya. SMPS jenis ini dapat dijumpai di produk TV Panasonic Gold Series. Dengan cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’ tersebut menjadikan SMPS model ini menjadi ‘favorite things’ bagi beberapa bengkel teman Penulis.

Sebelum mengulas cara kerja rangkaian SMPS jenis ini, sebaiknya ditinjau dahulu dua fungsi dasar transistor yaitu sebagai penguat arus dan penguat tegangan. Pada skema-skema smps artikel sebelumnya, transistor digunakan sebagai penguat tegangan (switcher, karena dibias hingga jenuh/switch). Sedangkan pada jenis ini, transistor digunakan sebagai penguat arus.
Pada transistor NPN, transistor berfungsi sebagai penguat arus jika output dari sistem penguatan menggunakan kaki emitor dan kaki kolektor langsung dihubungkan ke tegangan positif (hingga lazim disebut VCC) sebagai masukannya. Jika transistor dalam posisi ini mendapatkan bias (tegangan basis) positif, transistor akan meng-‘emitorkan’ (mengemisikan) tegangan dari kolektor menuju emitor dengan besar tegangan sama dengan tegangan basisnya (lihat rangkaian power supply yang pakai trafo biasa dengan transistor sebagai penguatnya). Karena tegangan yang diemisikan bersumber dari kolektor (yang notabene mempunyai arus lebih besar dari tegangan basis), maka tegangan output pada kaki emitor juga mempunyai arus yang lebih besar pula.
Kembali ke skema di atas, prinsip dasar kerja rangkaiannya adalah penggunaan transistor yang difungsikan sebagai penguat arus, kemudian tegangan keluaran transistor tersebut (yang arusnya telah dikuatkan) nantinya digunakan untuk ‘menggerakkan’ transformator sekaligus sebagai tegangan output dari SMPS. Karena yang ‘diubek’ adalah arusnya, bisa dikatakan smps jenis ini mempunyai output tegangan DC yang terputus-putus, sedangkan cara kerjanya sebagai berikut (singkat saja):

  1. Seperti pada umumnya rangkaian SMPS, tegangan DC 308V dihasilkan dari penyearahan tegangan masukan AC melalui line filter kemudian masuk ke main rectifier dan elko perata (C1 150uF/400V).
  2. Dengan adanya tegangan B+308V, resistor-resistor start-up R1 dan R2 (470K) memberikan tegangan/bias basis pada transistor utama Q1 (2SC4804/2SC5249), karena transistor mendapatkan tegangan basis, maka transistor akan mengeluarkan tegangan pada emitornya yang langsung ‘keluar’ ke output melalui lilitan primer transformator dengan tegangan yang menanjak (semakin membesar).
  3. Dalam waktu beberapa mikrodetik (uS), tegangan yang menanjak tersebut mencapai ambang SCR dan segera memicu SCR D8 (FD312) untuk menghubung singkatkan tegangan tersebut secara cepat (ingat, kaki SCR sebelumnya belum ada tegangan = terdapat beda potensial yang cukup untuk memicu).
  4. Karena tegangan output ‘dikonsletkan’ sesaat oleh D8 (SCR FD312), maka secara otomatis terbentuk magnet pada inti transformator (T1, C1C6A) yang segera terdemagnetisasi karena transistor kehilangan bias (bias dihilangkan oleh transistor Q3 (2SC3940A), proses tersebut berulang-ulang hingga akhirnya smps berosilasi dan mengeluarkan tegangan pada masing-masing lilitan sekunder trafo. R11 (100/2W) dan C11 (100n/100V) berfungsi sebagai penentu frekuensi kerja smps dan menjaga smps tetap berosilasi.
  5. Untuk menghindari ‘penanjakan’ yang berlebih, D5 (AU01Z), C5 (470p/500V), R12 (22), ZD1 (MA4062-6V2), C10 (47uF/50V), Q2 (2SA1512) dan R3 (220) membentuk rangkaian limiter/pembatas yang mempertahankan tegangan output pada nilai yang ditentukan. Dalam standby maupun kondisi ON, rangkaian ini tetap difungsikan. Karena rangkaian limiter sudah bekerja, maka tegangan output menjadi tidak cukup untuk memicu D8 FD312 (ingat, trafo hanya bisa dimagnet jika diberi tegangan, bukan dilewati tegangan).
  6. Untuk menjaga siklus osilasi tetap berjalan yang notabene harus dengan beban, R16 (470/2W) merupakan komponen yang bertanggung jawab untuk memberi beban smps ini ketika standby. Ketika ON, beban dipindah ke transistor horisontal dan flyback oleh relay.
  7. Ketika mode ON, beban dipindah ke beban sesungguhnya oleh relay dengan melewati dioda penyearah, dioda tersebut menyearahkan selisih tegangan yang ada di sistem sasis input/outputnya. Karena setiap dalam satu siklus osilasi, smps dikonsletkan oleh beban sehingga muncul tegangan selisih pada groundnya. Selain itu, dioda ini juga sebagai isolator agar rangkaian smps (primer) selalu dalam potensial positif (ingat, yang diubek-ubek tegangan DC lho…!!!).
  8. Rangkaian error amp, terdiri dari IC1, SE090-NLF4, Q3 (2SC3940A), optocoupler (PS2051-1) dan komponen pasif pendukung lainnya (jelasnya baca skema). Rangkaian error amp ini menjaga tegangan output tetap stabil pada 90V. Tegangan error yang keluar dari SE090 memberikan bias pada optocoupler OP1 (PS2501-1) sehingga opto mengalirkan tegangan dari kolektor ke emitor yang akhirnya menuju ke basis Q3 (2SC3940A), sehingga Q3 dapat mengontrol/menahan tegangan basis pada Q1 (2SC4804), semakin tinggi tegangan yang masuk ke basis Q3, semakin rendah outputnya. Sedangkan tegangan kolektor optocopler diambil dari tegangan dari B1-2 (lilitan sekunder) dan tegangan yang melalui D4.
  9. Yang menarik adalah mengapa harus butuh boost-up??? Ketika tegangan boost-up tidak ada (TFB tidak bekerja misalnya) dan smps diberi beban mengakibatkan tegangan output turun dan rangkaian error amp tidak lagi mampu mempertahankan tegangan outputnya. Karena smps masih mendapatkan tegangan start-up (oleh resistor-resistor start up) secara otomatis osilasi tetap berlanjut (dengan super beban tentunya), alhasil, ada suara kriiiiiiik pada trafonya. Jika diperbesar, prosesnya adalah, start – out ada – out drop (karena beban) – start lagi – out ada – out drop …… dan seterusnya. Begitu juga tegangan dari sekunder B1-2, juga mengalami hal yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuatlah lilitan L1 (sekitar 3 s/d 4 lilit) yang digulungkan di trafo flyback dengan maksud untuk mem-boost rangkaian smps segera setelah TFB bekerja. Karena adanya tegangan boost (yang dari TFB), tegangan dari resistor-resistor startup secara otomatis tergantikan dari tegangan boost tersebut.

Komponen Vital

Dalam sistem smps, semua komponen adalah vital. Tetapi persyaratan utama smps adalah stabilnya tegangan output juga cukupnya arus. Jika mengamati skema, sistem kerja di atas dan persyaratan tersebut, dapat ditemui beberapa komponen yang kritis/vital yaitu :
  1. C10 (47/50V), elko ini berfungsi sebagai perata/penampung tegangan bias Q2 (2SA1512) yang menurut skema transistor tersebut digunakan untuk membatasi tegangan outputnya (bersama-sama dengan ZD1 MA4062-6V2), jika ada gangguan pada elko ini, pembatasan tegangan output akan ‘bergeser’. Tegangan pada elko ini sebelumnya melalui R12 (22) sehingga R tersebut juga sangat penting. Jika elko kering, tegangan output akan naik.
  2. Q1 (2SC4804), transistor final ini harus dipilih dari transistor yang mempunyai karakteristik yang cocok untuk penggunaan penguatan arus. Tidak semua transistor smps cocok untuk tugas ini (pemilihan tipe alternatif harus teliti).
  3. Optocoupler (OP1 PS2501-1), sebelumnya mungkin sudah bertanya-tanya, optocouplernya kok tidak umum seperti pada TV-TV lainnya, PS2501-1, jika dilihat dari skemanya optocoupler ini memberi tegangan bias kepada Q3 (2SC3940A) dengan besar tegangan sesuai dengan inputnya (output dari SE090N). Ketika standby, tegangan bias ini harus tidak ada. Jadi, optocoupler yang ‘bocor’ sedikit saja, dapat mengganggu kerja dari SMPS ini.

Tips Perbaikan dan Troubleshooting

  1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
  2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
  3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya. Untuk penggantian elko (2 biji), sangat dianjurkan walaupun berkesan masih baik.
  4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo, lepas beban B+ yang menuju ke TFB, kemudian ‘paksa’ standby smps dengan melepas salah satu kaki koil relay. Kemudian hidupkan power supply.
  5. Jika tidak ada masalah, akan terbaca tegangan 20V dan 40V pada sekunder dan sekitar 20V pada B+90V.
  6. Jika smps masih mengerik, mungkin ada beban yang konslet, cek IC AN78M05.
  7. Jika smps berbunyi ciit panjang diiringi dengan output rendah (kurang dari normalnya, cek optocoupler.
  8. Kembalikan paksaan standby, kemudian hidupkan power supply, secara normal, tegangan output akan sedikit menurun, 20V terbaca sekitar 15 s/d 18V, 40V terbaca sekitar 35V. tegangan ini dapat dipengaruhi oleh gambar/beban TFB karena pengaruh boost-up.

Alternatif Komponen Pengganti

  1. Optocoupler : PC817 (sharp) bisa dipakai, jangan menggunakan optocoupler yang jika dites antara kaki kolektor dengan kaki emitornya dengan skala 1/10K, ada resistansi (jarum bergerak), misalnya P721 atau P621.
  2. Elko 47/50V, gunakan yang mempunyai suhu kerja tinggi (lihat pada kemasan) dan kualitas yang baik, jika tidak ditemukan, bungkus elko dengan shrink isolator atau tinggikan kaki-kakinya (penempatannya).
  3. Transistor utama, dapat menggunakan 2SC5249 atau tipe laen yang fungsi dan karakteristik sama.

Tegangan 35/40V

Pada sasis gold series, tegangan sekunder 40V ini hanya dipakai untuk tegangan VT tuner, zener pada jalur tegangan ini sering short (karena naiknya tegangan yang disebabkan keringnya elko 47/50V), sedangkan untuk mencari penggantinya, di beberapa daerah mungkin tidak ditemukan. Sebagai alternatif lain, zener tidak perlu dipasang (dilepas), tetapi perlu ditambahkan zener 33V pada jalur 33V setelah R820/2W.

Switch Mode Power Supply (SMPS) Bagian IV

Rabu, 03 Februari 2010 Jika Anda belum memahami blok-blok dalam rangkaian smps, sebaiknya baca dulu bagian 1 artikel SMPS ini.
SMPS yang akan diulas di sini mempunyai cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’, lihat saja ouputnya, B+ output diambil langsung dari kaki transformator alias tidak lazim bagi rangkaian power supply pada umumnya. SMPS jenis ini dapat dijumpai di produk TV Panasonic Gold Series. Dengan cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’ tersebut menjadikan SMPS model ini menjadi ‘favorite things’ bagi beberapa bengkel teman Penulis.

Sebelum mengulas cara kerja rangkaian SMPS jenis ini, sebaiknya ditinjau dahulu dua fungsi dasar transistor yaitu sebagai penguat arus dan penguat tegangan. Pada skema-skema smps artikel sebelumnya, transistor digunakan sebagai penguat tegangan (switcher, karena dibias hingga jenuh/switch). Sedangkan pada jenis ini, transistor digunakan sebagai penguat arus.
Pada transistor NPN, transistor berfungsi sebagai penguat arus jika output dari sistem penguatan menggunakan kaki emitor dan kaki kolektor langsung dihubungkan ke tegangan positif (hingga lazim disebut VCC) sebagai masukannya. Jika transistor dalam posisi ini mendapatkan bias (tegangan basis) positif, transistor akan meng-‘emitorkan’ (mengemisikan) tegangan dari kolektor menuju emitor dengan besar tegangan sama dengan tegangan basisnya (lihat rangkaian power supply yang pakai trafo biasa dengan transistor sebagai penguatnya). Karena tegangan yang diemisikan bersumber dari kolektor (yang notabene mempunyai arus lebih besar dari tegangan basis), maka tegangan output pada kaki emitor juga mempunyai arus yang lebih besar pula.
Kembali ke skema di atas, prinsip dasar kerja rangkaiannya adalah penggunaan transistor yang difungsikan sebagai penguat arus, kemudian tegangan keluaran transistor tersebut (yang arusnya telah dikuatkan) nantinya digunakan untuk ‘menggerakkan’ transformator sekaligus sebagai tegangan output dari SMPS. Karena yang ‘diubek’ adalah arusnya, bisa dikatakan smps jenis ini mempunyai output tegangan DC yang terputus-putus, sedangkan cara kerjanya sebagai berikut (singkat saja):

  1. Seperti pada umumnya rangkaian SMPS, tegangan DC 308V dihasilkan dari penyearahan tegangan masukan AC melalui line filter kemudian masuk ke main rectifier dan elko perata (C1 150uF/400V).
  2. Dengan adanya tegangan B+308V, resistor-resistor start-up R1 dan R2 (470K) memberikan tegangan/bias basis pada transistor utama Q1 (2SC4804/2SC5249), karena transistor mendapatkan tegangan basis, maka transistor akan mengeluarkan tegangan pada emitornya yang langsung ‘keluar’ ke output melalui lilitan primer transformator dengan tegangan yang menanjak (semakin membesar).
  3. Dalam waktu beberapa mikrodetik (uS), tegangan yang menanjak tersebut mencapai ambang SCR dan segera memicu SCR D8 (FD312) untuk menghubung singkatkan tegangan tersebut secara cepat (ingat, kaki SCR sebelumnya belum ada tegangan = terdapat beda potensial yang cukup untuk memicu).
  4. Karena tegangan output ‘dikonsletkan’ sesaat oleh D8 (SCR FD312), maka secara otomatis terbentuk magnet pada inti transformator (T1, C1C6A) yang segera terdemagnetisasi karena transistor kehilangan bias (bias dihilangkan oleh transistor Q3 (2SC3940A), proses tersebut berulang-ulang hingga akhirnya smps berosilasi dan mengeluarkan tegangan pada masing-masing lilitan sekunder trafo. R11 (100/2W) dan C11 (100n/100V) berfungsi sebagai penentu frekuensi kerja smps dan menjaga smps tetap berosilasi.
  5. Untuk menghindari ‘penanjakan’ yang berlebih, D5 (AU01Z), C5 (470p/500V), R12 (22), ZD1 (MA4062-6V2), C10 (47uF/50V), Q2 (2SA1512) dan R3 (220) membentuk rangkaian limiter/pembatas yang mempertahankan tegangan output pada nilai yang ditentukan. Dalam standby maupun kondisi ON, rangkaian ini tetap difungsikan. Karena rangkaian limiter sudah bekerja, maka tegangan output menjadi tidak cukup untuk memicu D8 FD312 (ingat, trafo hanya bisa dimagnet jika diberi tegangan, bukan dilewati tegangan).
  6. Untuk menjaga siklus osilasi tetap berjalan yang notabene harus dengan beban, R16 (470/2W) merupakan komponen yang bertanggung jawab untuk memberi beban smps ini ketika standby. Ketika ON, beban dipindah ke transistor horisontal dan flyback oleh relay.
  7. Ketika mode ON, beban dipindah ke beban sesungguhnya oleh relay dengan melewati dioda penyearah, dioda tersebut menyearahkan selisih tegangan yang ada di sistem sasis input/outputnya. Karena setiap dalam satu siklus osilasi, smps dikonsletkan oleh beban sehingga muncul tegangan selisih pada groundnya. Selain itu, dioda ini juga sebagai isolator agar rangkaian smps (primer) selalu dalam potensial positif (ingat, yang diubek-ubek tegangan DC lho…!!!).
  8. Rangkaian error amp, terdiri dari IC1, SE090-NLF4, Q3 (2SC3940A), optocoupler (PS2051-1) dan komponen pasif pendukung lainnya (jelasnya baca skema). Rangkaian error amp ini menjaga tegangan output tetap stabil pada 90V. Tegangan error yang keluar dari SE090 memberikan bias pada optocoupler OP1 (PS2501-1) sehingga opto mengalirkan tegangan dari kolektor ke emitor yang akhirnya menuju ke basis Q3 (2SC3940A), sehingga Q3 dapat mengontrol/menahan tegangan basis pada Q1 (2SC4804), semakin tinggi tegangan yang masuk ke basis Q3, semakin rendah outputnya. Sedangkan tegangan kolektor optocopler diambil dari tegangan dari B1-2 (lilitan sekunder) dan tegangan yang melalui D4.
  9. Yang menarik adalah mengapa harus butuh boost-up??? Ketika tegangan boost-up tidak ada (TFB tidak bekerja misalnya) dan smps diberi beban mengakibatkan tegangan output turun dan rangkaian error amp tidak lagi mampu mempertahankan tegangan outputnya. Karena smps masih mendapatkan tegangan start-up (oleh resistor-resistor start up) secara otomatis osilasi tetap berlanjut (dengan super beban tentunya), alhasil, ada suara kriiiiiiik pada trafonya. Jika diperbesar, prosesnya adalah, start – out ada – out drop (karena beban) – start lagi – out ada – out drop …… dan seterusnya. Begitu juga tegangan dari sekunder B1-2, juga mengalami hal yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuatlah lilitan L1 (sekitar 3 s/d 4 lilit) yang digulungkan di trafo flyback dengan maksud untuk mem-boost rangkaian smps segera setelah TFB bekerja. Karena adanya tegangan boost (yang dari TFB), tegangan dari resistor-resistor startup secara otomatis tergantikan dari tegangan boost tersebut.

Komponen Vital

Dalam sistem smps, semua komponen adalah vital. Tetapi persyaratan utama smps adalah stabilnya tegangan output juga cukupnya arus. Jika mengamati skema, sistem kerja di atas dan persyaratan tersebut, dapat ditemui beberapa komponen yang kritis/vital yaitu :
  1. C10 (47/50V), elko ini berfungsi sebagai perata/penampung tegangan bias Q2 (2SA1512) yang menurut skema transistor tersebut digunakan untuk membatasi tegangan outputnya (bersama-sama dengan ZD1 MA4062-6V2), jika ada gangguan pada elko ini, pembatasan tegangan output akan ‘bergeser’. Tegangan pada elko ini sebelumnya melalui R12 (22) sehingga R tersebut juga sangat penting. Jika elko kering, tegangan output akan naik.
  2. Q1 (2SC4804), transistor final ini harus dipilih dari transistor yang mempunyai karakteristik yang cocok untuk penggunaan penguatan arus. Tidak semua transistor smps cocok untuk tugas ini (pemilihan tipe alternatif harus teliti).
  3. Optocoupler (OP1 PS2501-1), sebelumnya mungkin sudah bertanya-tanya, optocouplernya kok tidak umum seperti pada TV-TV lainnya, PS2501-1, jika dilihat dari skemanya optocoupler ini memberi tegangan bias kepada Q3 (2SC3940A) dengan besar tegangan sesuai dengan inputnya (output dari SE090N). Ketika standby, tegangan bias ini harus tidak ada. Jadi, optocoupler yang ‘bocor’ sedikit saja, dapat mengganggu kerja dari SMPS ini.

Tips Perbaikan dan Troubleshooting

  1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
  2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
  3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya. Untuk penggantian elko (2 biji), sangat dianjurkan walaupun berkesan masih baik.
  4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo, lepas beban B+ yang menuju ke TFB, kemudian ‘paksa’ standby smps dengan melepas salah satu kaki koil relay. Kemudian hidupkan power supply.
  5. Jika tidak ada masalah, akan terbaca tegangan 20V dan 40V pada sekunder dan sekitar 20V pada B+90V.
  6. Jika smps masih mengerik, mungkin ada beban yang konslet, cek IC AN78M05.
  7. Jika smps berbunyi ciit panjang diiringi dengan output rendah (kurang dari normalnya, cek optocoupler.
  8. Kembalikan paksaan standby, kemudian hidupkan power supply, secara normal, tegangan output akan sedikit menurun, 20V terbaca sekitar 15 s/d 18V, 40V terbaca sekitar 35V. tegangan ini dapat dipengaruhi oleh gambar/beban TFB karena pengaruh boost-up.

Alternatif Komponen Pengganti

  1. Optocoupler : PC817 (sharp) bisa dipakai, jangan menggunakan optocoupler yang jika dites antara kaki kolektor dengan kaki emitornya dengan skala 1/10K, ada resistansi (jarum bergerak), misalnya P721 atau P621.
  2. Elko 47/50V, gunakan yang mempunyai suhu kerja tinggi (lihat pada kemasan) dan kualitas yang baik, jika tidak ditemukan, bungkus elko dengan shrink isolator atau tinggikan kaki-kakinya (penempatannya).
  3. Transistor utama, dapat menggunakan 2SC5249 atau tipe laen yang fungsi dan karakteristik sama.

Tegangan 35/40V

Pada sasis gold series, tegangan sekunder 40V ini hanya dipakai untuk tegangan VT tuner, zener pada jalur tegangan ini sering short (karena naiknya tegangan yang disebabkan keringnya elko 47/50V), sedangkan untuk mencari penggantinya, di beberapa daerah mungkin tidak ditemukan. Sebagai alternatif lain, zener tidak perlu dipasang (dilepas), tetapi perlu ditambahkan zener 33V pada jalur 33V setelah R820/2W.

http://caraharga.blogspot.com/2012/09/cara-cek-power-supply-atx-komputer.html

moga bermanfaat

 

3 komentar:

  1. Terimakasih atas pencerahan ilmu yang diberikan, semoga menjadi amal ibadah dan amal saleh, Amien Yaa ALLOH Yaa Robbal 'Alamin

    BalasHapus